Senin, 20 September 2010

BAHAYA LATEN 'LEGAL LOGGING' TERHADAP KELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA


Pada tahun 1950 Dinas Kehutanan Indonesia pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Selama sepuluh tahun terakhir, menurut Profesor Doktor Soekotjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Saat ini tidak lebih dari separo wilayah daratan Indonesia tidak berupa hutan. Jelas sangat menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dibandingkan dengan era tahun 1950 yang mencapai 84 persen wilayah daratan Indonesia berupa hutan. Keterpurukan kondisi hutan di Indonesia tampak terlihat dari adanya perubahan pada aliran sungai yang tidak biasa, erosi tanah, dan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan serta berkurangnya jumlah debit air yang dihasilkan oleh sumber mata air di Indonesia. Belum lagi rentetan bencana alam baik banjir, tanah longsor maupun gempa bumi yang secara meluas merupakan efek khusus dari adanya kerusakan hutan di Indonesia

Secara umum, kerusakan hutan bisa diakibatkan oleh adanya tindakan alih fungsi hutan, bencana baik kebakaran maupun bencana lainnya serta penebangan. Yang menarik adalah bahwa terhadap salah satu faktor penyebab kerusakan hutan tersebut khususnya penebangan, banyak yang disoroti publik adalah akibat penebangan secara Illegal atau yang lazim disebut sebagai Illegal Logging. Tentu hal ini perlu ada pencermatan yang lebih dalam, bahwa penebangan hutan selain yang sifatnya Illegal, juga ada penebangan hutan yang legal. Dan kedua jenis penebangan hutan ini efeknya adalah sama-sama menimbulkan kerusakan hutan. Informasi yang dirilis oleh  kementerian lingkungan hidup mengemukakan bahwa penebangan kayu secara legal mempengaruhi 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya. Jelas jumlah luasan yang tidak sedikit. Bahkan dalam tataran praktis, justru penebangan legal atau yang disebut sebagai legal logging ini yang sangat berdampak luas. Karena untuk melakukan tindakan legal logging akan melalui serentetan tindakan-tindakan administratif lain sehingga penebangan yang dilakukan bisa dianggap legal. Lain halnya dengan aksi illegal logging yang dilakukan secara diam-diam oleh penebang liar yang oleh orang jawa disebut ‘blandong’. Mereka melakukan aksi illegal logging murni dengan cara melawan hukum.

Terlepas dari itu, paradigma yang muncul adalah baik legal logging maupun illegal logging keduanya termasuk faktor yang bisa menyebabkan kerusakan hutan. Berbicara tentang legal logging, salah stu faktor yang penting untuk dicermati adalah bagaiumana  klasifikasi penebangan hutan ysng dapat dikatakan sebagai legal logging?Lantas apa pula bentuik legalisasi terhadap penebangan itu?Secara filosofis, ketentuan eksplisit yang tertera dalam pasal 33 UUD 1945 menunjukkan bahwa hanya negara dalam hal ini adalah pemerintah lah yang memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan sumber daya alamnya, termasuk di dalamnya adalah hutan. Dengan demikian melegitimasi pula bahwa penebangan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk legal logging, baik itu secara langsung maupun melalui mekanisme pelimpahan wewenang kepada instansi tertentu untuk itu. Tentunya di dalamnya mengandung beberapa proses sehingga tindakan pemerintah bisa dikatakan sah, yakni berparameter dasar hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.Selain itu, terpenuhi pula aspek wewenang, substansi maupun prosedur atas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam hal ini adalah melakukan legal logging. Kewenangan atributif yang diberikan kepada pemerintah ini, ternyata membuka peluang pula untuk memberlakukan ketentuan perizinan untuk melegalkan tindakan hukum yang dilakukan oleh orang perorang atau badan hukum bukan pemerintah untuk melakukan penebangan. Bahkan atas ketentuan larangan yang diatur di dalam Undang-Undang bisa tersimpangi dengan adanya izin. Sisi ini lah yang menjadi titik lemah sehingga kemungkinan kerusakan hutan menjadi besar. Lantaran lemahnya pengawasan konprehensif atas izin yang diberikan oleh pemerintah tersebut.
Di sisi lain, pihak yang menerima kebolehan khusus melalui izin ini adalah bukan dari kalangan rakyat jelata yang strata ekonominya lemah, bahkan mayoritas adalah kaum dengan kekuatan financial yang besar. Karena untuk mendapatkan izin penebangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ketentuan tentang pemberian wewenang ini bisa dilihat pada ketentuan yang ada di dalam pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Dengan pengertian ini menunjukkan bahwa penebangan yang telah mengantongi izin penebangan tergolong penebangan yang legal atau legal logging. Dalam konteks sistem perizinan di Indonesia, titik lemahnya adalah pada tingkat pengawasan atas izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang itu. Hal ini sangat berbahaya manakala jenis izinnya adalah izin penebangan hutan. Karena jika sampai terjadi kelalaian pengawasan baik secara sengaja atau pun tidak maka dampaknya sangat besar. Karena sekali tebang maka akan menunggu bertahun-tahun lamanya untuk mengembalikan seperti keadaan semula. Berbeda dengan izin usaha Industri misalnya, jika sampai terjadi pencemaran, maka bisa ditanggulangi secara represif dengan menutup sumber pencemarnya. Namun bagaimana dengan pohon? Dapatkah pohon yang ditebang dengan segera dipulihkan? Jelas tidak mungkin. Oleh karenanya, efektifitas pengawasan izin oleh pejabat yang memberikan izin penebangan tersebut sangat diperlukan. Namun sayangnya, ketentuan sanksi yang mengatur bilamana terdapat kelalian pihak yang berwenang terhadap izin yang diberikan, tidak lah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang.

Ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanana  jo. UU No. 19 tahun 2004, khususnya dalam penegakan norma larangan seakan-akan dititik beratkan pada kegiatan yang dilakukan oleh rakyat, bukan mengatur hal-hal bilamana pejabat melanggar ketentuan. Dari sudut keadilan jelas rasanya tidak adil. Demikian pula dari pandangan perlindungan bagi rakyat, bahkan justru rakyat lah yang selalu dipersalahkan. Secara faktual, kondisi masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan kehidupannya sangat menggantungkan dari hasil hutan. Belum lagi tingkat pendidikan yang rendah sehingga tidak ada kemampuan khusus untuk pengelolaan hasil hutan yang didapat. Kondisi demikian setidaknya bisa memberikan referensi bahwa masyarakat sekitar hutan dengan keterbatasan skill yang dimiliki tidak berpikir profit besar dalam mengambil hasil hutan, melainkan hanya secukupnya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Dengan kondisi ini, jumlah yang diambil pun tidaklah banyak. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan legal logging yang dilengkapi peralatan modern untuk mengambil kayu di hutan. Kuantitasnya pun lebih besar. Sehingga potensial untuk menghancurkan hutan sangat terbuka lebar.

Kajian konprehensif mutlak dibutuhkan untuk menyokong tingkat kuantitas legal logging yang dilakukan oleh kalangan tertentu. Karena di dalam praktek legal logging ini bukan tidak mungkin juga terjadi proses maladministrasi oleh pejabat publik. Beberapa kasus tentunya telah menunjukkan hal itu. Bahkan beberapa waktu lalu misalnya ada salah seorang camat di daerah Bojonegoro yang harus berurusan dengan hukum karena terjerat kasus kayu. Bahkan dari hasil bisnisnya ini kondisi perekonomiannya jauh lebih mapan jika dibandingkan dengan hanya memangku jabatan sebagai Camat belaka. Itu adalah potret salah satu dari sekian banyak kasus yang ada. Kondisi yang sering terjadi di lapangan adalah praktek makelarisasi kayu. Dan ini sering dilakukan oleh ‘orang dalam’. Modus operandinya adalah dengan pura-pura tidak tahu dan membiarkan orangnya untuk mengambil kayu di hutan. Ujung-ujungnya dia pun dapat bagian. Keadaan ini apa bukan menyengsarakan dan bahkan menjerumuskan orang lain?Orang jawa bilang “Nabok nyilih tangan”. Seakan-akan bersih namun sesungguhnya sangat kotor di dalamnya. Kelihatannya sebagai pahlawan penyelamat hutan, tapi sesungguhnya tak lebih dari seorang pecundang. Praktek-praktek semacam ini kerap terjadi. Lagi-lagi yang dirugikan adalah masyarakat secara meluas mengingat kondisi hutan yang dijadikan korban. Toh, untuk memperbaikinya tidak cukup waktu 1 atau 2 tahun. Ini tentunya bukan persoalan yang baru tapi telah ada sejak lama. Namun selalu saja yang disalahkan adalah masyarakat sekitar hutan yang dengan klaim bebas dianggap sebagai pencuri kayu melalui Illegal Logging. Lantas kapan rakyat tidak dipersalahkan? Ternyata dalam tataran produk peraturan  hukumnya sekalipun keberpihakan pada rakyat belum begitu nampak. Bahkan seakan-akan menyudutkan posisi rakyat. Rakyat yang menafkahi diri untuk bertahan hidup di tengah-tengah himpitan ekonomi harus dikalahkan dan dipersalahkan. Sementara mereka yang dengan pertimbangan profit besar untuk memperkaya diri lepas dari jeratan hukum, bahkan dilegalkan. Sungguh naif.

Secara meluas, kerusakan kondisi hutan bukanlah satu atau dua orang yang merasakan. Produksi oksigen terbesar melalui pepohonan di hutan harus terkurangi. Padahal setiap manusia memerlukan itu. Tidak adanya oksigen yang cukup akan membunuh manusia secara perlahan. Secara kausalitas, tentu legal logging pun jadi salah satu penyebab itu semua terjadi disamping illgal logging yang keduanya berobjek kekayaan hutan.  Sebagai penutup bukanlah bijak mendudukkan persoalan hanya dari sudut pandang. Termasuk dalam hal kerusakan hutan akibat penebangan. Penebangan kayu di hutan bukanlah hanya illegal logging yang santer dibicarakan, namun terdapat pula illegal logging yang juga andil untuk merusak hutan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

semangat gus...
sering-sering di update...

Posting Komentar