Senin, 20 September 2010

KPK Vs POLISI : Potret Kelemahan Supremasi Hukum di Indonesia


Lagi-lagi kajian mendalam tentang hukum dan sistem penegakannya di Indonesia dipertaruhkan. Belum lama kasus-kasus yang oleh kriminolog disebut sebagai white collar crime marak menjadi perbincangan, seperti korupsi dan beberapa konspirasi pembunuhan kini mengemuka wajah kriminal baru. Kali ini hadir justru dari aparat penegak hukumnya. Dua lembaga negara berseteru. Anatara KPK Versus Polisi. Keduanya adalah sama-sama memiliki kewenangan secara atributif sebagai penyidik Tindak Pidana. Polisi lebih memiliki kewenangan yang luas dibandingkan dengan KPK. Polisi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berkedudukan sebagai penyelidik maupun penyidik beberapa kasus Pidana secara Umum. sedangkan KPK lebih kearah Tindak Pidana Khusus, yakni Korupsi.

Terlepas dari itu, keduanya sebagai partner penegakan hukum penjamin keadilan di Indonesia tentu memiliki perspektif dan cara pandang yang berbeda. Sesama lembaga negara yang bergerak di bidang hukum tuntutan masyarakat menghendaki keduanya berjalan berdampingan secara akur tanpa ada masalah. Kondisi ini justru bertolak belakang dengan keadaan internal dua institusi ini. Pertama, KPK dianggap sebagai pahlawan pemberantas korupsi di Indonesia oleh khalayak umum. Terbukti telah banyak kasus korupsi di Indonesia yang di 'meja hijaukan' oleh KPK. Prestasi ini lebih gemilang di tengah-tengah hiruk pikuk yang melanda KPK menyusul ditangkapnya antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, tampuk pimpinan KPK tetap bisa mengemban tugasnya dengan baik. Di sisi lain, institusi Kepolisian setelah dibatasi demarkasi kerjanya dengan kinerja TNI pada Era Gus Dur justru menunjukkan penurunan profesionalitas. Kasus salah tangkap dan berbuntut pelanggaran HAM di tubuh kepolisian gencar diberitakan media.
Bagaimana dengan penetapan sebagai tersangka oleh Kepolisian atas dua Pimpinan KPK, Chandra dan Bibit?Ini yang harus dicermati. secara sepintas kasus ini terlihat adanya motif politis. Lebih kasar dari sudut pandang awam bisa disebut pola balas dendam. Mengapa demikian? Institusi KPK yang tengah mengembangkan penyelidikannya atas kasus Bank Century mensinyalir adanya keterkaitan dengan Kabareskrim Mabes POLRI. Di tengah-tengah proses tersebut, Chandra dan Bibit justru ditangkap oleh Polisi dengan sangkaan yang 'plin-plan'. Polisi menyangka Chandra maupun Bibit dengan sangkaan yang berubah-ubah. semula dikaitkan dengan penyalah gunaan wewenang kemudian mengembang kepada kasus penyuapan dan lain sebagainya. kondisi ini seakan-akan menunjukkan betapa tidak profesionalnya penanganan kasus oleh Polri.

Proses Penyelidikan dilanjutkan dengan penyidikan adalah harga mati sebagai sistem yang harus dijalankan oleh Polisi atas amanat KUHAP. Dalam penetapan sesorang sebagai tersangka, tentunya harus diberikan dasar dan alasan yang jelas. Kaitannya dengan kasus penetapan Chandra dan Bibit sebagai Tersangka oleh Polisi maka sudah barang tentu terlebih dahulu Polisi mengungkapkan alasan penetapan mereka sebagai tersangka. Ini yang menjadi persoalan. Beberapa sumber mengemukakan sebelumnya Chandra dan Bibit ditetapkan sebagai tersangka atas dasar Penyalah gunaan wewenang. Lantas berkembang lagi menjadi kasus penyuapan. padahal antara penyalah gunaan wewenang dan Penyuapan keduanya sangat jauh relevansinya.Beranjak dari sini lah mengemuka ungkapan yang mengesankan polisi justru mencari-cari kesalahan.

Di lain Pihak, kasus Bank Cntury yang hendak diperiksa oleh KPK yang diduga melibatkan petinggi POLRI tersebut terkatung-katung. Beberapa pimpinan KPK yang tersisa tidak berani mengambil kebijakan untuk melanjutkan pemeriksaan atas kasus tersebut. Demikian juga POLRI tak berani mengambil kebijakan untuk menonaktifkan Kabareskrim Mabes Polri tersebut.Bahkan berdasarkan konferensi Pers yang dilakukan oleh Susno, dia menganggap penyadapan yang dilakukan oleh KPK kemudian di counter dengan aksi intelijen juga tersebut sebagai sebuah sandiwara. Walaupun proses semacam ini tidak disalahkan, namun semestinya masyarakat tidak perlu mengetahuinya. Karena hal ini justru memperlihatkan bahwa Polri dan KPK tidak serius. Hanya main-main saja. Lantas bagaimana dengan penegakan hukum di Indonesia bila aparat penegak Hukumnya saja main-main?

Perlu Kebijakan Eksekutif
Dua lembaga negara yang berseteru tersebut secara struktural adalah berada dibawah garis koordinasi eksekutif. Oleh karenanya apapun yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut secara tidak langsung beraspek politis terhadap kelangsungan pemerintah. Kondisi stabil di bidang hukum merupakan tannggung jawab besar para pemegang kekuasaan.
Perseturuan antara POLRI dan KPK tidak bisa terus dibiarkan berlarut-larut lamanya. Ultimatum Wapres kepada KAPOLRI untuk menyelesaikan kasus ini dalam waktu seminggu merupakan pernyataan yang harus ditanggapi dalam bingkai sosiologis. Karena tendensi kepentingan dan desakan publik yang menyebabkan Wapres sampai meng-ultimatum Kapolri. Secara Yuridis, Polisi dalam melakukan penyidikan dan pengumpulan bukti diberikan waktu sesuai ketentuan KUHAP. Polisi memiliki kewenangan penuh untuk itu.

Proses penyidikan kasus pidana tidak bisa serta merta mencampur adukkan dengan persoalan lain. Baik pengumpulan bukti maupun isu hukum yang diangkat haruslah konsisten dari awal. oleh karenanya ada mekanisme pemberhentian Penyidikan. dan dalam hal ini Polri yang memiliki kompetensi. Persoalan KPK Versus Polri adalah persoalan pertaruhan kredibilitas. dalam hal ini sangat dipertaruhkan Kredibilitas Polri dalam menangani persoalan hukum secara profesional. Oleh karenanya, adanya perintah dari penguasa eksekutif dalam hal ini adalah presiden bisa menyelamatkan potensial tercorengnya institusi lembaga tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar